“Huft!” keluhku dalam hati. Tidak terasa sebulan telah berlalu. Menunggu satu nama yang takkan pernah hadir dalam beberapa tahun ke depan. Entah ada kekuatan apa dengan nama orang itu. Akh... rasa-rasanya aku ingin mengejar kereta yang orang itu tumpangi kala itu.
Dia adalah Aga. Aga Dipta. Kekasihku semasa SMA. Sudah sekian lama kami memutuskan untuk berpisah. Memutuskan untuk berjalan di pilihannya masing-masing. Sedikitpun kami tidak merasa menjadi jauh karena keputusan kami saat itu. Ingin rasanya mengulang masa itu, saat di mana aku mengatakan “Iya, aku mau nerima kamu Ga,” tapi itu semua tidak akan mungkin lagi terjadi.
Perbedaan keyakinan yang kami anut membuat kami mustahil untuk menyatu. Perbedaan keyakinan adalah perbedaan dasar yang tidak patut diperdebatkan. Kami sama sekali tidak menyesali akan keadaan itu, bahkan kami tetap teguh memegang keyakinan masing-masing, mungkin kami sudah ditakdirkan bertemu dan berpisah agar kami bisa lebih menghargai perbedaan. Hubunganku berjalan sekitar dua tahun, dan sudah lebih dari empat tahun kami berpisah. Tapi tetap saja, kami tidak bisa mengingkari perasaan masing-masing. Tidak akan tega rasanya jika aku menerima orang lain sedangkan Aga masih dengan baik berada di sisiku. Pernah suatu kali ada orang yang mengutarakan perasaannya kepadaku. Tidak lain adalah sahabatku. Dia baik dan pengertian, dan yang paling penting dia seiman denganku. Aga pun menyetujui jika aku mau menerima sahabatku itu.
Keputusan yang memang benar-benar berat. Aku memutuskan untuk mengatakan “tidak” kepada sahabatku. Sahabat yang sudah sepuluh tahun ada untukku. Aku memberi alasan yang sejujurnya. “Empat tahun boleh berlalu, tapi cintaku ini nggak akan pernah kehapus oleh waktu, Ka,” jawabku. Anka memang sudah mengerti akan hubunganku dengan Aga selama ini. Dia hanya ingin mengungkapkan apa yang di rasakan saja. Dia tidak akan pernah menuntutku untuk mengatakan “ya” bagi dirinya. Bahkan dia masih tetap menjadi sahabatku sampai saat ini.
Aku yakin jawabanku itu sangat menyakitkan bagi Anka, sahabatku. Maaf Ka, aku benar-benar minta maaf atas keputusanku ini. Maaf atas jawabanku yang terlalu jujur dan aku tahu hal ini nyakitin kamu. Sedikitpun aku tak jujur, pastilah dia akan tau jika melihat sikapku. Beruntungnya aku punya sahabat seperti dia. Tapi tak beruntngnya dia punya sahabat sepertiku. “Maaf Ka,” mohonku dalam hati.
Sebulan yang lalu, Aga berpamitan pergi ke Jakarta untuk melanjutkan studi S2 nya. Apa boleh buat, dengan berat hati, aku melepasnya pergi demi masa depannya kelak. “Aku nggak akan lama perginya. Dengan keterampilan menulis, tesisku akan segera selesai, dan dengan kepandaianku ini pasti aku akan pulang dengan nilai A dan pekerjaan yang keren besok. Kamu tenang aja Ra. Saat melihat keretaku mulai berjalan nanti, kamu nggak usah nangis. Karena aku tahu pasti kamu nggak bawa sapu tangan ataupun tisu untuk mengelap satu ember air matamu dan satu liter ingus kamu itu, hhehe... ” katanya panjang lebar. Dengan gaya khasnya yang terkadang terlalu PD, membuatku tertawa, dan inilah satu hal yang akan membuatku rindu untuk beberapa tahun ke depan. Aga......
***
Semuanya berjalan seperti biasanya. Aku meneruskan studi S2 di Jogja, dan Aga meneruskan studi S2 di Jakarta. Komunikasi berjalan lancar. Hubungan kami masih seperti dulu.
Singkat cerita, dua tahun kemudian.
“dddrrrrtttt..... dddrrrrtttt.... “ hpku getar . Kuambil Hpku lalu tanpa melihat siapa penelponnya, kuangkat.
“Ra, lagi ngapain kamu?” kata orang itu.
Masih setengah sadar dan dengan suara seadanya (yang menurutku masih tetap seksi walau suara bangun tidur), “Huahm .. Ya tidurlah, lagian ada perlu apa telpon tengah malem?! Besok aja napa? Ganggu orang tidur tau!” jawabku sewot.
“Yaelahhh galaknya belum sembuh-sembuh juga. Emang tujuanku telpon kan buat gangguin tidur kamu! Hhehee ” Jawabnya enteng.
Nih orang ngajak berantem deh kayaknya, gerutuku dalam hati. Tapi rasa-rasanya suara ini sangatlah familiar. Sudah sangat akrab di telinga, apalagi gaya bicaranya. Ingatanku langsung pulih, kesadaranku juga kembali seperti sedia kala sebelum aku tidur 98%. Ya, Aga. Gaya bicaranya tak pernah berubah dalam keadaan apapun. Terkecuali kalau sedang lapar, bisa menjawab sedikit saja omelanku, sudah merupakan suatu usaha yang sangat hebat
“Aaaaggggggggggaaaaaaaaaa!!!!! Ngajak berantem ya telfon tengah malem gini. Seharian tadi kamu udah telfon aku terus tau Ga. Mentang-mentang dapet gratisan. Huh.” omelku panjang lebar.
“Hhhaaaahahahahahahahhahaha..... si galak ngambek nih ” jawabnya tanpa rasa bersalah.
“Siapa suruh telpon jam segini. Tuh jamnya lagi mangkir di angka 2. Jam 2 malem Ga. Lagi mimpi ketemu idola juga, malah kamu ... “
“Kangen kamu Ra. Kangen banget. Besok pagi aku pulang ke Jogja, aku mau kamu yang jemput ” timpal Aga.
Suasana menjadi hening. Seketika bibirku tak berucap mengingat hubunganku dengan Aga yang memang sudah berakhir. Tapi kami tidak dapat saling berbohong untuk mengatakan “tidak mau lagi bersama”. Mengingat perbedaan dasar yang tak mungkin dapat kami selesaikan. Kami terikat oleh satu tali ketegassan hati dalam memilih. Memilih sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kami pilih. Kami seperti berada di dalam kubangan yang seolah mampu menenggelamkan kami dalam pekatnya suasana hati kala kami menyadari satu titik klimaks dari semua yang pernah kami lalui. Pengharapan yang tak ada pangkal ujungnya, serta kenangan yang terasa terlalu indah untuk dilupakan, dan terlalu menyakitkan untuk sedikit saja dilupakan. Sungguh bukan sesuatu yang gampang!
Ini adalah rahasia Tuhan. Dalam hati, aku hanya memohon yang terbaik untuk jalanku dan Aga. Entah kelak menjadi satu jalan, apakah tetap seperti ini. Jika sudah datang waktunya, aku yakin semua kan menjadi indah
Tsh
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Designed by Ibnu Center
4 komentar:
teruss kembangkan bakatnyaa yaa ciiww?
:-D
dg senangg hati kawand :D
gantian follow dong :D
okok .. :)
Posting Komentar